KONTROVERSI PENGAJUAN PK
oleh: H.M. Gapuri (Waka PA Palangka Raya)
Kontroversi tentang pengajuan PK (Peninjauan Kembali) muncul seiring terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.34/PUU-XI/2013 tanggal 06 Maret 2014. Dalam amar putusan MK tersebut menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 No.76, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal 268 ayat (3) mengatur langkah hukum PK hanya bisa dilakukan satu kali.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK berpendapat bahwa upaya hukum luar biasa (extraordinary remedy) tersebut bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil, karenanya pengadilan yang seharusnya melindungi HAM tidak boleh membatasi PK hanya sekali. Mengenai asas setiap perkara harus ada akhirnya (litis finiri oported) tidak dapat diterapkan secara kaku dengan membolehkan PK hanya satu kali.
Beberapa pakar hukum memberikan tanggapan terhadap putusan MK tersebut. Ada yang berpendapat putusan tersebut sangat tepat karena memberikan penghargaan terhadap penegakan HAM di Indonesia. Dalam rangka penegakan HAM memang selayaknya PK tidak dibatasi satu kali, karena bisa saja terjadi setelah seseorang yang telah mengajukan PK dan PK-nya ditolak, kemudian ditemukan novum baru. Lantas apakah orang tersebut tidak boleh lagi mengajukan PK? Kalau tetap tidak boleh, berarti penghargaan terhadap hak asasi manusia terabaikan.
Namun di sisi lain, banyak pula yang berpendapat bahwa dengan membolehkan pengajuan permohonan PK berkali-kali bisa menimbulkan masalah serius bagi proses peradilan di negara ini. Hukum akan mudah dipermainkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Menurut Marzuki Ali bahwa pengajuan PK lebih dari satu kali akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena akan membuat eksekusi atas pidana yang telah dijatuhkan tidak kunjung terwujud (Singkat,vol.VI, No.06/II/P3D/Maret/2014).
Menyikapi munculnya kontroversi tersebut Mahkamah Agung di penghujung Tahun 2014 mengeluarkan Surat Edaran Nomor 07 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana. Dalam SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) tersebut dijelaskan bahwa untuk terwujudnya kepastian hukum permohonan peninjauan kembali, Mahkamah Agung perlu memberikan petunjuk yang intinya sebagai berikut :
- Bahwa pengaturan upaya hukum peninjauan kembali, selain diatur dalam ketentuan UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang normanya telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi, juga diatur dalam UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 24 ayat (2) berbunyi: ”Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali”. Pengajuan PK juga diatur dalam UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung sebagaimana disebutkan dalam Pasal 66 ayat (1): “Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali”.
- Bahwa dengan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Pasal 268 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana oleh Putusan Mahkamah Konstitusi, tidak serta merta menghapus norma hukum yang mengatur permohonan peninjauan kembali yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UU no.48 Tahun 2009 dan Pasal 66 ayat (1) UU No.3 Tahun 2009 tersebut.
- Berdasarkan hal tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya 1 (satu) kali.
Melihat adanya perbedaan mendasar antara putusan MK No.34/PUU-XI/2013 dengan SEMA No.7 Tahun 2014 tersebut, belum lama ini Menkopolhukam mengadakan pertemuan dengan Jaksa Agung, Mahkamah Agung (diwakili oleh dua orang Hakim Agung), Kabareskrim Polri dan Ketua DKPP membahas masalah pengajuan PK. Pertemuan tersebut menghasilkan tiga poin keputusan, yaitu :
- Bagi terpidana mati yang grasinya ditolak presiden, eksekusi tetap dilaksanakan.
- Putusan MK No.34/2013 tersebut masih memerlukan peraturan pelaksanaan secepatnya tentang pengajuan peninjauan kembali, menyangkut pengertian novum, batas waktu dan tata cara pengajuan PK.
- Sebelum ada ketentuan pelaksanaan pada poin 2, terpidana belum dapat mengajukan PK berikutnya.
Adanya SEMA dan keputusan rapat terbatas tersebut hendaknya dapat mengakhiri kontroversi tentang pengajuan PK. Namun demikian, konon, pemerintah masih merasa perlu untuk membuat payung hukum tentang PK dalam sebuah Peraturan Pemerintah. Kita tunggu saja.
Statistik Kepegawaian Selanjutnya
Profil Pejabat Fungsional Sebelumnya