Harap Tunggu...

Senin, 10 Februari 2025
» Artikel » MAHAR
MAHAR
  

MAHAR

oleh : H.M. Gapuri

Menurut Kompilasi Hukum Islam, mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Meskipun mahar bukan termasuk rukun dalam perkawinan, namun hukumnya wajib bagi seorang calon mempelai pria untuk memberikan mahar kepada calon istrinya. Mahar bisa diberikan secara kontan, bisa pula secara mencicil. Bila cicilannya belum lunas kemudian terjadi perceraian, maka sisa cicilan itu menjadi utang bagi suami terhadap istrinya.

Dalam Islam tidak ada batasan tentang mahar, sepanjang bermanfaat. Semuanya tergantung kepada kesepakatan kedua belah pihak, tanpa melihat besar kecil nilai “barang” yang dijadikan mahar itu. Bisa saja sesuatu yang nilainya sangat kecil seperti cincin dari besi dijadikan mahar perkawinan. Dalam sebuah hadits Nabi bersaba : “Carilah mahar, meskipun hanya berupa cincin besi”.

Pernah pula Nabi mengawinkan seorang sahabat dengan mahar berupa bacaan Al Qur’an, bahkan seorang Abu Thalhah Al Anshari yang belum Islam, ketika mau meminang Ummi Sulaim, dia hanya diminta mahar oleh Ummi Sulaim berupa ikrar dua kalimah syahadat.

Nabi sesungguhnya tidak suka dengan mahar yang mahal, seperti sabdanya: ”Perkawinan yang paling besar berkahnya ialah yang paling ringan maharnya”.

Tapi, belakangan ini santer beredar kabar adanya “mahar” yang sangat besar, milyaran rupiah. Mahar ini tentu bukan dalam perkawinan, melainkan “mahar politik” dalam Pilkada serentak tahun 2015.

Ada balon Bupati di Sumatera Utara yang mengaku dimintai mahar oleh dua partai pengusung yang totalnya di atas Rp4 milyar. Karena si calon ini tidak bisa menyediakan uang sejumlah itu, maka ia pun gagal diusung oleh partai yang bersangkutan. Begitu pula kasus di Manggarai, NTT, Sebastian Salang yang berencana mau menjadi Bupati, terhalang karena tidak mau membayar mahar yang diminta oleh partai politik pengusung.

Mahar politik adalah berupa pemberian sejumlah uang atau barang dari balon (bakal calon) kepala daerah, baik di kabupaten/kota (bupati/walikota) atau di tingkat provinsi (gubernur/wakli gubernur). Mereka –para balon- konon harus memberikan mahar kepada pengurus partai secara berjenjang, mulai di tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi sampai ke pengurus pusat. Tentu saja hal ini memerlukan biaya yang amat sangat besar. Semakin besar mahar yang diberikan, semakin besar kansnya untuk mendapatkan rekomendasi dari partai. Karena itu, tidak aneh makala ada partai yang sudah memberikan rekomendasinya kepada si A, tiba-tiba menarik/membatalkan dan mengalihkannya kepada si B, konon, karena si B bersedia memberikan mahar yang lebih besar dari si A. Partai pun dengan gampang berdalih bahwa berdasarkan hasil survey, elektabilitas si B lebih tinggi dari si A.

Besarnya mahar ini boleh jadi menjadi salah satu sebab minimnya bakal calon bupati/walikota di tahun 2015. Sampai batas akhir pendaftaran di KPU beberapa hari lalu, masih ada 4 daerah yang hanya punya satu calon dan hal ini bisa berakibat batalnya pilkada di daerah tersebut pada 9 Desember nanti.

Kalau besar-kecilnya mahar yang dijadikan patokan untuk mengeluarkan rekomendasi, maka berarti pimpinan daerah “ditentukan” oleh uang, bukan oleh kualitas seseorang. Seorang kader yang potensial dan berkualitas terpaksa harus gigit jari untuk menjadi bupati, walikota atau gubernur, lantaran dia tidak punya uang yang banyak.  Sementara kader yang kemampuannya biasa-biasa saja, tetapi punya uang yang banyak, dia bisa mendapat dukungan partai politik untuk menjadi kepala daerah. Maka, ketika dia sudah memegang jabatan, tentu akan berusaha “banting tulang” dengan berbagai cara untuk mengembalikan “mahar” yang telah disetorkannya kepada partai.

Karena itu, demi untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas, ada baiknya peraturan perundang-undangan yang terkait Pemilukada segera direvisi, misalnya menyangkut rekomendasi dari partai untuk jabatan bupati/walikota cukup di tingkat Pengurus Cabang (sejenisnya) dan untuk jabatan gubernur cukup di Pengurus Wilayah (sejenisnya). Sedangkan rekomendasi Pengurus Pusat hanya untuk calon presiden/wapres. Dengan demikian, seorang bakal calon kepala daerah tidak perlu mengeluarkan mahar politik yang besar terhadap partai pengusungnya.

Atau cara lain, persyaratan untuk calon independen dipermudah, sehingga membuka ruang yang cukup bagi perseorangan untuk maju di arena Pilkada. Semakin banyak yang mencalonkan diri, semakin banyak pilihan bagi rakyat untuk menentukan pemimpin mereka yang diharapkan mampu melahirkan pemimpin yang berkualitas. Semoga.